Gaya Hidup

Sisi Lain Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Terhadap Kualitas Pariwisata di Istana Maimoon

Tangerangplus.com – Istana Maimoon, salah satu ikon sejarah Kesultanan Deli yang berdiri sejak 1888, selama ini menjadi daya tarik utama wisata di Kota Medan. Arsitekturnya yang memadukan unsur Melayu, India, dan Eropa menjadikan istana ini kerap disebut sebagai salah satu cagar budaya paling indah di Indonesia. Namun, belakangan muncul persoalan yang mengundang sorotan publik: menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di dalam kawasan istana.

Fenomena ini menimbulkan perdebatan hangat. Bagi sebagian orang, keberadaan PKL dianggap sebagai bentuk kreativitas ekonomi rakyat kecil yang memanfaatkan arus wisatawan. Para pedagang menawarkan cenderamata khas Medan yang mudah diakses pengunjung. Tidak sedikit wisatawan yang merasa terbantu karena bisa langsung berbelanja tanpa harus keluar dari kawasan wisata.

Namun, pandangan berbeda datang dari kalangan pemerhati budaya dan wisata. Aktivitas jual-beli di dalam ruang istana dinilai mengurangi kesakralan, merusak estetika, dan menurunkan wibawa cagar budaya. Pemandangan meja dagangan di antara tiang-tiang istana jelas mengaburkan identitas ruang sejarah yang seharusnya dijaga keasliannya. Lebih dari sekadar mengganggu kenyamanan, hal ini berpotensi merusak citra Istana Maimoon di mata wisatawan mancanegara.

Gangguan yang dirasakan wisatawan ternyata tidak berhenti pada soal estetika semata. Sejak pertama kali melangkahkan kaki ke dalam ruang utama istana, pengunjung kerap langsung disambut oleh pedagang yang menawarkan dagangannya secara aktif. Alih-alih menikmati suasana sejarah yang tenang dan khidmat, mereka harus menghadapi situasi seperti pasar, dengan suara pedagang yang memanggil, tawaran harga, hingga bujukan untuk membeli. Bagi sebagian pengunjung, pengalaman ini menimbulkan kesan tidak nyaman, seakan-akan wisata budaya berubah menjadi ajang transaksi.

Kondisi ini pada akhirnya membuat nuansa historis yang seharusnya menjadi daya tarik utama Istana Maimoon justru berkurang. Pengunjung datang dengan harapan dapat merasakan atmosfer masa lalu, mengagumi arsitektur unik, serta memahami kisah Kesultanan Deli. Namun, perhatian mereka kerap teralihkan oleh tumpukan barang dagangan dan interaksi jual-beli yang begitu mendominasi ruang. Situasi ini memperlihatkan betapa mendesaknya penataan agar kawasan bersejarah tidak kehilangan identitasnya hanya karena tekanan ekonomi sesaat.

Keluhan serupa diutarakan oleh salah satu wisatawan, Melly Satwika, yang merasa keberadaan pedagang di dalam istana cukup mengganggu pengalaman berkunjungnya. “Ya kalo soal UMKM atau PKL di sini sih saya cukup terganggu ya, soalnya udah ditanya-tanya gitu masuk (ke dalam istana). Terus juga merusak ini sih, pemandangan sama jual-jualannya,” ungkapnya dalam wawancara.

Pendapat Melly mencerminkan keresahan banyak pengunjung lain yang berharap Istana Maimoon bisa menghadirkan pengalaman wisata budaya yang lebih otentik dan berkelas, bukan sekadar terasa seperti pusat belanja dadakan.

Kritik ini seharusnya menjadi alarm bagi pengelola dan pemerintah daerah. Sebab, kepuasan wisatawan adalah kunci keberlangsungan destinasi. Jika pengalaman yang ditawarkan justru mengurangi minat untuk datang kembali atau direkomendasikan, maka daya tarik wisata bersejarah seperti Istana Maimoon berpotensi menurun di tengah persaingan destinasi lain yang lebih tertata.

Di sisi lain, pemerintah daerah dan pengelola istana menghadapi dilema. Menutup akses pedagang bisa memicu penolakan keras, mengingat sebagian besar PKL menggantungkan hidup dari aktivitas tersebut. Namun membiarkan mereka tetap berjualan di dalam area istana sama artinya dengan mengorbankan marwah situs budaya yang seharusnya dijaga.

Solusinya bukanlah sekadar menggusur atau membiarkan, melainkan menata secara bijak. Pemerintah Kota Medan bersama Dinas Pariwisata perlu menyediakan area khusus di luar gedung utama, tetapi masih dalam radius strategis agar pedagang tetap mendapatkan pelanggan. Desain lapak harus tertata, seragam, dan tidak merusak pemandangan.

Istana Maimoon bukan hanya ruang ekonomi, melainkan juga simbol sejarah yang menyimpan memori kolektif masyarakat Melayu Deli. Menjaga marwahnya adalah kewajiban bersama. PKL tetap bisa berperan sebagai penggerak ekonomi, tetapi tidak dengan mengorbankan identitas ruang budaya. Sebab pada akhirnya, pariwisata yang bermartabat adalah pariwisata yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi rakyat dengan penghormatan pada warisan sejarah. (Foto : istimewa)

Penulis : Amelia Desi Nataline Tambunan, Suci Sandy Wachyuni, Kadek Wiweka, Mahasiswa Prodi S2 Magister Terapan Perencanan dan Pengembangan Pariwisata Politeknik Sahid Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *